
Oleh :
Teuku Abdul Hannan
Pemerhati Pengadaan Barang/Jasa
JakartaBicara (Jaringan MSM), Aceh – Dalam praktik pengadaan barang/jasa pemerintah, sering kali muncul kebijakan yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Salah satu kebijakan yang patut dipertanyakan adalah persyaratan tenaga terampil dan tenaga ahli dalam pekerjaan konstruksi. Meskipun kesannya logis untuk meningkatkan kualitas proyek, tetapi apakah kebijakan ini memiliki dasar hukum yang sah atau justru cacat hukum ?
Perspektif Hukum : Kebijakan Tanpa Dasar
Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU JAKON), pengaturan remunerasi tenaga kerja konstruksi, termasuk tenaga ahli dan tenaga terampil, merupakan kewenangan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Namun, sampai saat ini, tidak ada peraturan menteri yang secara eksplisit menetapkan standar upah atau remunerasi bagi tenaga ahli dan tenaga terampil dalam proyek konstruksi (kontraktor).
Keputusan Menteri PUPR Nomor 524/KPTS/M/2022 memang mengatur remunerasi minimal tenaga kerja konstruksi, tetapi hanya untuk layanan jasa konsultansi konstruksi, bukan untuk pelaksanaan konstruksi (kontraktor). Artinya, setiap kebijakan yang mempersyaratkan tenaga ahli dan tenaga terampil dalam proyek kontraktor tanpa regulasi yang sah, adalah kebijakan yang tidak memiliki landasan hukum dan bertentangan dengan prinsip kepastian hukum.
Kasus Nyata : Sabang dan Persyaratan yang Dipaksakan
Sebagai contoh, DOKUMEN PEMILIHAN Nomor: 01/POKJA-IV/SPAM/PUPR-SBG/DAK/2024 tanggal 16 Januari 2024, Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Pembangunan Baru SPAM Jaringan Perpipaan Gp. Jaboi yang dilaksanakan oleh Pokja IV Pemerintah Kota Sabang dengan HPS Rp.6.613.950.000,-.
BAB I. UMUM
A. Dokumen Pemilihan ini disusun untuk membantu peserta dalam menyiapkan Dokumen Penawaran berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya dan aturan turunannya.
BAB IV. LEMBAR DATA PEMILIHAN (LDP)
F. Persyaratan Teknis, terdapat persyaratan tenaga kerja konstruksi sebagai berikut:
● Pelaksana 2 Tahun SKT TT 011 Pelaksana Perpipaan Air Bersih dan/atau Pelaksana Konstruksi Bangunan Unit Distribusi SPAM Jenjang 6
● Ahli K3 Konstruksi harus memiliki sertifikat Petugas Keselamatan Konstruksi.
BAB III. INSTRUKSI KEPADA PESERTA (IKP),
G. TENDER GAGAL DAN TINDAK LANJUT TENDER GAGAL
Tender dinyatakan gagal dalam hal:
1. Terdapat kesalahan dalam proses evaluasi.
2. Tidak ada peserta yang menyampaikan dokumen penawaran setelah ada pemberian waktu perpanjangan.
3. Seluruh penawaran harga pada Tender Pekerjaan Konstruksi di atas HPS.
4. Tidak ada peserta yang lulus evaluasi penawaran.
5. Ditemukan kesalahan dalam Dokumen Pemilihan atau Dokumen Pemilihan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya dan aturan turunannya.
Namun, dalam Instruksi Kepada Peserta (IKP) Bab III. Poin 5. dinyatakan bahwa tender dapat dinyatakan gagal jika Dokumen Pemilihan tidak sesuai dengan ketentuan Perpres 16/2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta aturan turunannya. Hal ini menimbulkan:
Kontradiksi yang nyata
1. Dokumen ini mengklaim berpedoman pada Perpres 16/2018, tetapi tetap mensyaratkan SKT dan SKA yang tidak diatur dalam regulasi terkait pekerjaan konstruksi (kontraktor).
2. Belum ada Peraturan Menteri PUPR yang mengatur standar tenaga ahli dan tenaga terampil di sektor pelaksana konstruksi, sehingga persyaratan ini cacat hukum.
Mengapa Bisa Cacat Hukum ?
1. Tidak Ada Regulasi yang Mewajibkan SKT dan SKA untuk Pelaksana Konstruksi
● Perpres 16/2018 dan aturan turunannya tidak mengatur secara eksplisit kewajiban SKT dan SKA dalam pekerjaan kontraktor.
● Keputusan Menteri PUPR 524/KPTS/M/2022 hanya mengatur tenaga ahli dan tenaga terampil untuk jasa konsultansi konstruksi, bukan untuk pelaksanaan konstruksi.
2. Dokumen Pemilihan yang Bertentangan dengan Prinsip Kepastian Hukum
● Jika persyaratan tenaga ahli dan tenaga terampil tidak berdasarkan regulasi yang sah, maka persyaratan tersebut bisa dianggap sebagai penyimpangan administratif.
● Hal ini berpotensi membatalkan tender jika ada peserta yang menggugat ke LKPP atau lembaga hukum lainnya.
3. Potensi Tender Gagal karena Kesalahan dalam Dokumen Pemilihan
● Dalam Bab III Instruksi Kepada Peserta (IKP) Dokumen Pemilihan, dinyatakan bahwa tender dinyatakan gagal jika:
“Ditemukan kesalahan dalam Dokumen Pemilihan atau Dokumen Pemilihan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya dan aturan turunannya.”
● Jika SKT dan SKA tidak memiliki dasar hukum yang jelas, maka persyaratan tersebut bisa dianggap cacat hukum, yang berujung pada potensi tender gagal.
Potensi Masalah yang Timbul
Tanpa adanya dasar hukum yang jelas, beberapa masalah bisa muncul, seperti:
1. Inkonsistensi Antar Proyek
Tanpa standar yang jelas, setiap proyek bisa menetapkan persyaratan yang berbeda, menciptakan kebingungan ketidakpastian bagi penyedia jasa dan tenaga kerja.
2. Resiko Penyalahgunaan dan Manipulasi Tender
Regulasi yang tidak tegas membuka peluang permainan harga dan rekayasa administratif, di mana penyedia jasa bisa dipaksa memasukkan tenaga ahli dan tenaga terampil fiktif hanya demi memenuhi syarat.
3. Potensi Sengketa Hukum
Penyedia jasa yang merasa dirugikan dapat menggugat dokumen pemilihan, yang bisa berujung pada pembatalan proyek dan menghambat penyerapan anggaran.
Saran untuk Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota :
Stop Kebijakan yang Cacat Hukum!
Penulis menyarankan agar Pemerintah Provinsi Aceh serta Kabupaten/Kota tidak menjadikan tenaga terampil dan tenaga ahli sebagai persyaratan dalam pekerjaan konstruksi (kontraktor) hingga adanya regulasi yang jelas dan sah dari Kementerian PUPR.
Mengacu pada ketidakjelasan mengenai standar remunerasi tenaga ahli dan tenaga terampil dalam sektor pelaksana konstruksi, mempersyaratkan hal tersebut dalam dokumen pemilihan dapat menimbulkan masalah hukum serta ketidakpastian yang pada akhirnya dapat mengganggu penyerapan anggaran pada tahun 2025.
Solusi : Menunggu Regulasi yang Sah
Dalam menghadapi situasi ini, solusi terbaik adalah menunggu regulasi yang sah dari Menteri PUPR yang mengatur standar remunerasi tenaga ahli dan tenaga terampil pada proyek konstruksi. Peraturan yang jelas akan memberikan kepastian hukum dan keseragaman dalam implementasi pengadaan konstruksi pemerintah.
Kesimpulan : Hentikan Kegagalan Sistemik!
Persyaratan tenaga ahli dan tenaga terampil dalam proyek konstruksi (kontraktor) tanpa dasar hukum yang sah bukan hanya kesalahan administratif, tetapi juga bentuk kegagalan sistemik dalam pengadaan barang/jasa. Kebijakan ini bisa dianggap cacat hukum dan berpotensi menghambat proyek serta merugikan penyedia jasa. Pemerintah daerah harus lebih berhati-hati dalam menerapkan persyaratan teknis agar tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum.
Jika regulasi dari Kementerian PUPR belum ada, mengapa dipaksakan ? Jangan sampai kebijakan ini hanya menjadi alat untuk menghambat kompetisi sehat dan merugikan penyedia jasa yang sebenarnya berkompeten.
Semoga bermanfaat.